Adat istiadat Minangkabau: Adat belingkaran, pusaka berkehiliran, ayam gedang seekor selesung, ....

Iklan

Lahirnya Alam Minangkabau Bag. II

Kamis, 18 September 2014, 00.20 WIB Last Updated 2017-01-23T09:29:19Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini
Tambo Minangkabau | Dengan takdir Allah pada suatu masa keluarlah seekor rusa yang amat besar dan liar dari dalam hutan, lalu masuk kedalam negeri. Rakyat bersama-sama memperburukan rusa itu tetapi tak juga kunjung dapat. Lalu bersama-sama pula mereka datang menghadap kepada Datuk Suri Dirajo minta nasehat bagaimana caranya menangkap rusa itu.

Datuk Suri Dirajo menjawab: "Pergilah kalian bersama-sama mencari rotan dan perbuat jerat! kemudian jeratlah rusa itu!".

Penduduk melakukan sepanjang nasehat datuk itu dan beramai-ramai mencari rotan, lalu membuat jerat. Dan akhirnya rusa besar dan liar itu dapat ditangkap dan diikat pada tanduknya. Rusa itupun disembelih dan dimakan bersama-sama. Semua rakyat beriang-riang sambil perpesta. Kemudian tempat tersebut dinamakan "Periangan" karena disanalah mereka beriang-riang pesta memakan rusa itu.

Sebagai lazimnya kisah mitos rakyat Minangkabau semuanya dengan kiasan dan sindiran. Yang dimaksud dengan rusa masuk kampung itu sebenarnya ialah seorang raja yang datang dari Sriwijaya bernama Sang Sepurba. Ia datang dengan sebilah "pedang yang panjang". Itulah sebabnya tempat itu dinamakan Periangan Padangpanjang. Ia disambut baik dan dijadikan "orang semenda". Raja itu kemudiannya diberi tempat bernama Batu Subang Gedang.

Adik anak yang tua dari Catri Bilang Pandai dengan Cati Reno Sadah pergi berlayar ke Muara. Ia berdarah perantau. Dalam sebuah sebuah pelayaran ia menemui sebuah peti yaitu dekat laut Langkapura. Dalam peti itu terdapat alat-alat pertukangan selengkapnya: pahat, beliung, kapak, dan alat-alat besi. Anak itu kemudian kembali ke Periangan Padangpanjang. Ia kemudian bergelar Datuk Perpatih nan Sebatang karena ia mendapat peti dan sebatang pohon.

Jadi Datuk Ketemenggungan ialah putera tertua yang bapaknya Yang Dipetuan dan dengan Datuk Perpatih nan Sebatang ia bersaudara seibu. Maka tidaklah mengherankan jika Datuk Ketemenggungan berpaham feodal sebab bapaknya seorang raja. Sedang Datuk Perpatih nan Sebatang berpaham demokrasi (kerakyatan) sebab ia dibesarkan ditengah-tengah rakyat dan banyak merantau. Tetapi paham kedua bersaudara seibu itu dapat saling kerja sama yang baik dan membentuk masyarakat baru serta menciptakan tata kerama adat dalam segala segi kehidupan.

Masing-masing membuat tempat kediaman sendiri. Datuk Perpatih nan Sebatang membangun rumahnya dibawah kayu: "Bodi" yang bernama Naga Terang. Dan Datuk Ketemenggungan dibawah kayu "Sakti".

Rakyat berkembang biak juga. Lalu bermupakatlah datuk yang bertiga itu akan membagi "luhak" yakni Datuk Perpatih nan Sebatang, Datuk Suri Dirajo, dan Datuk Ketemenggungan. Dalam pada itu Cateri Bilang Pandai sudah meninjau-ninjau daerah yang akan dijadikan tempat tinggal yang baru. Watak dan sifat mereka bertiga saling berbeda pula. Yang seorang berkalang (berbantal) kelapa, yang seorang berkalang gunting dan seorang yang berkalang teras kayu limau manis.

Maka mulailah rombongan demi rombongan menginggalkan daerah asalnya akan mencari tempat kediaman yang baru. Ada yang lima puluh orang serombongan, ada yang berempat, ada yang bertujuh, ada yang berlima dan sama-sama mencari kediaman yang baik menurut pendapat mereka.

Asal mula daerah Lima Puluh Kota:

Sebuah rombongan sebanyak lima puluh orang menurun dari Periangan Padangpanjang menuju sebuah tanah datar yang sangat baik kelihatan dari jauh ialah daerah Lima Puluh Kota sekarang ini. Pada suatu malam mereka  bermalam disebuah padang yang amat luas. Ketika haris sudah pagi diperiksa ternyata lima keluarga dari rombongan sudah menghilang, entah kemana perginya. Setiap ditujukan pertanyaan kemana yang berlima itu pergi semua menjawab: "Antah!" (Entah). Maka padang tempat mereka bermalam itu bernama: "Padang Siantah" yang terletak dekat negeri Piladang sekarang ini tak seberapa jauh dari proyek PLTA Batang Agam proyek listrik terbesar didaerah Sumatera Barat pada masa lampau. Dengan kurang lima orang rombongan meneruskan perjalanannya dan berpencaran diranah yang kelihatan mula-mula. Itulah asal penduduk Lima Puluh Kota yang sekarang ini.

Yang lima keluarga itu akhirnya ketahuan juga. Rupanya menghilang dan meneruskan perjalanan menuju daerah sepanjang hiliran sungai Kampar Kanan. Mereka mendirikan negeri-negeri sepanjang hiliran sungai itu. Kenegerian yang pertama mereka dirikan sama dengan negeri asal mereka ialah; Kuok dan Bangkinang. Daerah itu kemudian bernama "Limo Koto" yang berasal dari ninik berlima yang memencar dari rombongan yang lima puluh orang. Sebab itulah adat istiadat didaerah Limo Koto (Kuok, Bangkinang, Air Tiris, Kampar dan Tambang) banyak bersamaan dengan adat di daerah Lima Puluh Kota. Dan julukan bagi orang Limo Koto dikatan: "berbapak ke Lima Puluh Kota, berdatuk ke Pagarruyung".

Asal nama luhak Agam:
Ada seorang shekh di Batipuh Padangpanjang yang bergelar Tuanku Batung. Beliau ini murid dari Shehk Burhanuddin di Ulakan. Pada suatu masa datang beberapa orang murid dari daerah Kubung Tiga Belas. Setelas murid-murid yang berasal dari Bukittinggi melihat murid-murid dari Kubung itu membawa buku-buku agama berkatalah mereka: "Sudah Luak Agama Kita". Sebab itulah dinamakan Luak Agam.

Tanah Datar sebab dinamakan demikian karena segala adat keluar dari Periangan. Jadi semua orang dengan adat keluar dari negeri itu. Sebab itulah bernama Luak Tanah Datar.  Setengahnya menerangkan bahwa dinegeri itu tidak berapa yang datar, kurang atau luak yang datar sehingga dinamakan "Luak Tanah Datar". Jadi maksud kata luak pada pertama kalinya ialah "kurang". Wallahu a'lam.
[H. Datoek Toeah]












Komentar

Tampilkan

Terkini

NamaLabel

+