Adat istiadat Minangkabau: Adat belingkaran, pusaka berkehiliran, ayam gedang seekor selesung, ....

Iklan

Lahirnya Alam Minangkabau Bag. I

Rabu, 17 September 2014, 17.47 WIB Last Updated 2019-04-10T10:03:49Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini
Tambo Minangkabau | Pada masa Datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang belum lahir, negeri-negeri masih dikuasai oleh seorang datuk yang bergelar Dt. Marajo Basa di Padangpanjang dan Dt. Bandaro Kayo di Priangan Pandangpanjang. Kedua Datuk itulah yang memakai gelar gedang kebesaran sebelum lahir kedua negarawan Minangkabau yang amat terkenal itu. Dan Pariangan Padangpanjang ialah kampung yang pertama-tama dalam alam Minangkabau ini sebelum kampung-kampung lainnya bermunculan.

Kedua datuk ini menyusun sebuah Undang-undang aseli yang bernama: Undang-undang "Si Mumbang Jatuh", "Si Gamak-Gamak", dan "Si Lamo-lamo". Ketiga undang-undang ini disusun tangkainya satu demi satu, dipakukan ke tiang panjang, dibasuh kelautan.

Mungkin bersadarkan undang-undang yang sudah ada juga kemudiannya Datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang menyusun undang-undang adatnya yang kemudian jadi terkenal itu dengan dua prinsip yang berbeda tetapi dapat berjalan bergandengan tidak ada saling bentrokan.

Dasar peraturan Datuk Ketemenggungan: "Berpucuk bulat titik dari atas dengan tata caranya bertangga turun".

Dan dasar Datuk Perpatih nan Sebatang: "Berurat tunggang membersut dari bumi dengan tata caranya berjenjang naik".

Bilamana antara kedua kelarasan itu terjadi pertikaian paham atau pertentangan, dibawa ke Balai na Saruang di Pariangan Padangpanjang yang mempunyai hak kuasa mutlak: "Genting putus, biang tumbuk". Ketua dalam Balai nan Seruang ini adalah Datuk Maharajo nan Banego-nego. Kalau ada terjadinya kesimpang siuaran atau keragu-raguan seperti dicetuskan dalam pantung adat:

     Pisang si kalek-kalek hutan,
     Pisang tembatu yang bagatah,
     Koto Piliang inyo bukan,
     Bodi Caniago inyo antah,
     (Pisang kelat-kelat hutan,
     pisang tembatu yang bergetah,
     Koto Piliang dia bukan,
     Bodia Caniago dia entah).

Pada masa itu bermupakatlah datuk-datuk yang lain dengan pimpinan datuk yang berdua itu dan tujuan kerapatan adalah akan mendirikan sebuah balai tempat mengadakan rapat. Yang Dipertuan menitahkan kepada Cateri Bilang Pandai supaya membangun balai itu yang bernama: "Balai Balerong Panjang" dengan ciri-ciri khas:

     yang bertonggak teras jelatang
     yang berperan akar lundang
     yang bertabuh pulut-pulut
     yang bergentang jangat tuma
     yang bergendang selaguri

Juga dilengkapi dengan canang buatan Raja Jin yang diam di rimba Lawang dan bertelempong yakni perbuatan Raja Sigulambai.

Menurut Tambo Minangkabau setelah selesailah balairung itu bersuka rialah semua penduduk dan dihamparilah balairung itu dengan "lapik hilalang". Sudah tentu semua kata-kata itu kata-kata kiasan juga adanya sebab bahan-bahan yang dipergunakan ialah terdiri dari belukar-belukar kecil yang mustahil dibangun menjadi sebuah balai ruang adat. Dan itulah balai pertama di alam Minangkabau yang terletak di Tabek, Batu Sangkar dan arsiteknya bernama Tun Tejo Garhano yang berkubur di Pariangan Padangpanjang dan terkenal dengan nama "kuburan panjang". Demikian tingginya arsitek ini sebab ia mengatap balai itu hanya sedang mencangkung saja. Dan bila diselidiki tiang-tiang balai yang di Tabek itu bahkan dengan pemeriksaan dilaboratorium para ahli masih belum dapat menentukan dan menetapkan dari bahan apa sebenarnya dibuat tonggak balai itu.

Tatkala sumur akan digali, negeri akan dicacak, permedanan anak muda-muda dihiasi, begitu pula perhimpunan orang besar-besar dan orang kaya-kaya serta anak raja-raja mendirikan penghulu dan juga tempat menghukum dengan adil. Sesudah itu dibangun pula rumah-rumah peribadatan tempat melakukan ibadat kepada Tuhan, sedang balai tempat meminta putusan hukum yang kawi dan syara' yang lazim.

Petunjuk-petunjuk dan pedoman dalam membangun semua jabatan itu dengan mengambil petunjuk dari suhur yang diberikan Nabi Adam a.s.

Dalam pada itu bumi bertambah luas juga dan tanah datar yang subur semakin luas juga yang dapat dijadikan negeri-negeri. Maka menyerulah Yang Dipertuan kepada Cateri Bilang Pandai agar mencari tanah-tanah untuk kediaman rakyat yang sudah berkembang biak itu. Yang Dipertuan ini mungkin ialah sudah keturunannya dan yang dinamakan Cateri Bilang Pandai itu mungkin nama suatu jabatan pada masa itu turun temurun.

Lalu turunlah raja itu ke Bunga Setangkai namanya dalam tahap pertama sejumlah tujuh orang perempuan dan kemudian disusul pula oleh delapan orang perempuan, bersama-sama sekelompok laki-laki. Mereka mendiami bumi yang bernama Bunga Setangkai itu dan Yang Dipertuan kembali ke Periangan Padangpanjang.

Tiada berapa lamanya Yang Dipertuan kawin pula dengan seorang perempuan yang bernama Puteri Indah Jelita. Dengan puteri itu beliau mendapat seorang anak laki-laki. Beberapa lama kemudian beliau wafat. jandanya ini Puteri Indah Jelita kemudian kawin dengan Cateri Bilang Pandai. Dengan suaminya ini ia berputera dua orang laki-laki dan empat orang perempuan. Puteri ini dengan suami yang baru berganti nama dengan Cati Reno Sadah.

Putera yang sulung dari dari Indah Jelita yang kemudian bernama Cati Reno sadah itu kemudian bergelar: Datuk Suri Dirajo dan anaknya yang tertua bergelar Datuk Ketemenggungan atau Sutan Maharaja Besar. Datuk Suri Dirajo menjadi teman musyawarah bagi Datuk Ketemenggungan. Dan beliaulah penghulu yang asli dalam Luhak Tanah Datar dapa zaman dahulu.
[H. Datoek Toeah]



Komentar

Tampilkan

Terkini

NamaLabel

+